-->






Kenangan Lapangan Merdeka Yang Tak Merdeka

Oleh: Fadmin Prihatin Malau

Tiga puluh lima tahun lalu, kawasan Lapangan Merdeka sebagai Titik Nol Kilometer Kota Medan sangat nyaman dengan rindangnya Pohon Trambesi. Hampir tidak ada polusi udara sebab Pohon Trambesi dengan canopy-nya melindungi para pejalan kaki dan yang mengendarai kendaraan dapat menatap megahnya Kantor Balai Kota Medan yang kini sudah tenggelam dengan berdirinya Hotel Aston yang menjulang tinggi ke angkasa.

Lapangan Merdeka semakin indah dengan adanya Kantor Pos Besar Medan yang didirikan tahun 1909 oleh seorang bernama Snuyf  dan diketahui pernah menjabat sebagai Direktur Jawatan Pekerjaan Umum Belanda untuk Indonesia.

Pada depan Kantor Pos Besar Medan berdiri Hotel de Boer yang merupakan hotel pertama di Medan, kini menjadi Hotel Darma Deli tapi bangunannya sudah berganti, disebelah kiri Javasche Bank yang dibangun tahun 1910 oleh asosiasi Hulswit and Fermont dari Weltevreden and Ed Cuypers Amsterdam, kini Gedung Bank Indonesia akan tetapi bangunannya masih belum berganti.

Buku Lapangan Mer(D)eka Doeloe dan Kini

Lapangan Merdeka tiga puluh lima tahun lalu sangat berbeda dengan hari ini dan menjadi kebanggaan masyarakat Kota Medan untuk mengunjunginya terutama pada saat Hari Besar Nasional seperti Hari Proklamasi Kemerdekaan Indonesia.

Mengelilingi Lapangan Merdeka sangat menyenangkan, ketika berada di ujung Jalan Balai Kota berdiri kantor perusahaan pelayaran The Netherlands Shipping Company dan sempat menjadi Kantor Rotterdam’s Lloyd kemudian menjadi Gedung Jakarta Lloyd dan kini menjadi Kantor Asuransi tapi bangunan dari luar masih tetap seperti dahulu.

Persis di depannya ada Gedung Juliana yang kemudian menjadi milik Harrison & Crossfield, sebuah perusahan perkebunan milik Inggris dan kini menjadi gedung Kantor Gedung PT. London Sumatera Indonesia. Sebelah kanan Gedung Juliana ada The Netherlands Trading Campany atau Nederlandsche Handel Maatschappij (1929) yang kini menjadi gedung bank milik pemerintah, bangunannya belum banyak berubah.

Keindahan Lapangan Merdeka Medan terlihat ketika berada di atas Titi Gantung yang tahun 70-an penulis minimal dua kali sehari melintasi Titi Gantung pergi ke sekolah di jalan Deli yang kini berganti menjadi Jalan Gadingmuda Batubara (GB) Josua. Titi Gantung jalan lintasan dari Spoorstraat yang kini bernama Jalan Stasiun Kereta Api ke Kwanteebiostraat yang kemudian berganti jadi Jalan Irian Barat dan kini Jalan Jawa.

Titi Gantung sampai hari ini masih tetap tergantung dengan bangunan yang kokoh. Titi Gantung dibangun tahun 1885 oleh Deli Spoorweg Maatschappij (DSM) bersamaan dengan dibangunnya stasiun kereta api besar Medan yang sampai hari ini tetap ada. Namun, suasananya sangat berbeda, Titi Gantung hari ini tidak seindah Titi Gantung yang dulu sejuk karena ada Pohon Asam Jawa berbaris-baris di tepi jalan.

Pada sisi timur Lapangan Merdeka berbaris-baris Pohon Trambesi dengan canopy melindungi jalan di depan Stasiun Kereta Api Besar Medan. Kini pohon-pohon itu terancam punah sebab sudah ditutup, dibuat bangunan berlantai dua. Lantai sadar untuk parkir mobil pengantar bagi penumpang kereta api ke Bandar Udara Kuala Namu. Sedangkan lantai dua untuk pedagang buku. Sirna sudah kesejukan Lapangan Merdeka pada sisi timur.

Mengembalikan Lapangan Merdeka

Kenangan Lapangan Merdeka tiga puluh lima tahun lalu dengan kondisi Lapangan Merdeka hari ini bisa memutus perjalanan sejarah budaya Bangsa Indonesia seratus tahun (seabad) yang lalu. Penjajah Kolonial Belanda membangun Lapangan Merdeka bernama Esplanade sebagai daerah Ruang Terbuka Hijau (RTH) bagi kenyamanan warga waktu itu dan sempat juga disebut sebagai Taman Burung karena indah dan rindangnya pepohonan banyak burung yang datang.

Ketika Belanda pergi dan Jepang berada di Indonesia, nama Lapangan Merdeka diganti nama dengan Fuku Raidu. Namun, nama yang diberikan Jepang itu berganti lagi ketika Mr. Muhammad Hasan sebagai Gubernur Sumatra Timur mengumumkan Kemerdekaan Republik Indonesia kepada seluruh masyarakat Kota Medan pada 6 Oktober 1945 di Fuku Raidu itu.

Catatan sejarah budaya Bangsa Indonesia ada di Lapangan Merdeka Medan ini karena untuk pertama kalinya Proklamasi Kemerdekaan diumumkan kepada seluruh masyarakat Kota Medan waktu itu dan catatan sejarah terukir dengan pertama kali pula diturunkan bendera Jepang di Lapangan Fuku Raidu dan dinaikkan bendera Merah Putih serta diganti namanya dari Lapangan Fuku Raidu menjadi Lapangan Merdeka Medan.

Kini, berulangkali penulis diundang rekan untuk bertemu di lapangan Merdeka Medan, duduk di café yang mewah dan serba mahal dengan menatap lalulalang kenderaan di jalan Balai Kota depan jejeran café itu. Berulangkali pula penulis teringat tiga puluh lima tahun yang lalu bahwa di depan deretan café café mewah itu dahulu adalah pedestrian atau tempat bagi pejalan kaki dan di lokasi café sekarang tempat duduk-duduk yang nyaman sambil makan kacang tanah rebus atau pada malam hari makan jagung bakar di bawah rimbunnya pohon Trambesi berukuran besar.

Dulu di jalan itu sangat teduh akibat rimbunnya dedaunan Trambesi dan dijadikan tempat parkir kenderaan roda empat (mobil) yang waktu itu jalan Balai Kota tidak seramai yang ada sekarang ini. Begitu sejuk, sangat indah dan nyaman bagi perjalan kaki di trotoar Jalan Balai Kota itu. Kini bukan saja nyaman bagi pejalan kaki akan tetapi sudah tidak bisa lagi bagi pejalan kaki sebab sudah menjadi tempat parkir mobil dengan posisi serong 45 derejat.

Kini kawasan Lapangan Merdeka sudah sangat banyak berubah, termasuk pohon Trambesi yang mengelilingi lapangan Merdeka sudah sangat tua dan sudah hilang satu demi satu dan daunnya tidak rimbun lagi. Bangunan di sekeliling Lapangan Merdeka sudah banyak berubah meskipun bentuk aslinya masih terlihat. Kantor Balai Kota tidak seindah dahulu lagi sebab telah “ditelan” bangunan besar di belakangnya. Begitu juga dengan Titi Gantung yang masih ada dan berfungsi sebagai sarana penyeberangan terasa semakin rendah “ditelan” bangunan di sekelilingnya pada hal kota Medan memiliki Peraturan Daerah (Perda) Nomor 9 Tahun 1988 tentang Pelestarian Bangunan dan Lingkungan yang bernilai sejarah.

Namun, implementasinya belum terlihat. Justru sebaliknya konsep pembangunan berwawasan lingkungan sudah dilakukan Belanda sehingga semua lapisan masyarakat pada waktu itu merasakan fasilitas umum yang murah dan mudah diperoleh. Jauh berbeda dengan hari ini ketika penulis bersama rekan duduk pada satu café yang berjejer di tepi Lapangan Merdeka Medan tidak merasakan senyaman tiga puluh lima tahun yang lalu.

Perlu menjadi catatan bahwa hari ini tidak semua lapisan masyarakat Kota Medan dapat menikmati suasana kawasan Lapangan Merdeka yang katanya untuk publik. Dahulu Lapangan Merdeka Medan dapat dinikmati semua lapisan masyarakat tanpa membedakan status sosial, budaya dan ekonomi, semuanya bisa menikmatinya karena memang diperuntukkan untuk umum. Kegiatan yang dilakukan untuk umum seperti kegiatan “Pasar Malam” di Lapangan Merdeka Medan yang diselenggarakan secara rutin dan terakhir “Pasar Malam” dilaksanakan tahun 1964 dan setelah itu tidak ada lagi.

Dahulu kawasan Lapangan Merdeka oleh Belanda dijadikan sebagai lokasi RTH untuk semua masyarakat dari berbagai lapisan masyarakat dengan membuat kawasan Lapangan Merdeka asri, sejuk dengan pohon-pohon Trambesi yang rimbun dan angin semilir berhembus menyejukkan suasana.

Andaikata kawasan Lapangan Merdeka seperti dahulu maka Kota Medan dipastikan akan semakin indah, asri dan menyejukkan mata. Seharusnya begitu sebab Kota Medan adalah pintu gerbang masuk ke Provinsi Sumatera Utara. Kini apa yang terjadi dengan kawasan Lapangan Merdeka Medan, mari kita mencatat apa saja yang dilihat, dirasakan dan apa yang dibayangkan bakal terjadi pada masa mendatang tentang kawasan Lapangan Merdeka. Sebuah kenangan Lapangan Merdeka yang merdeka.

No comments:

Post a Comment

Berita Terkini