mediasergap.com | JAKARTA - Terkait Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) No.5 tahun 2020 yang dikeluarkan oleh MA, tentang Protokol Persidangan pada pasal 4 ayat (6), dimana Perma tersebut mengatur tentang kewajiban meminta izin oleh Hakim atau Ketua Majelis untuk dapat mengambil foto, Rekaman Audio dan Rekaman Visual harus terlebih dahulu dilakukan sebelum dimulainya persidangan.
Selain itu, pada pasal 7 Perma No.5 tahun 2020 ini juga mengkualifikasikan pelanggaran pasal 4 ayat (6) itu sebagai contempt of court atau penghinaan terhadap Pengadilan.
Menyikapi Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) No.5 tahun 2020 tentang protokol Persidangan yang dikeluarkan tanggal 4 Desember 2020 tersebut, Forum Pers Independent Indonesia (FPII) angkat bicara.
Anggota Deputy Advokasi FPII, Nurhadi menilai larangan mengambil foto, rekaman audio dan rekaman visual di dalam persidangan hanya pada sidang perkara Kesusilaan dan persidangan Anak. Pada prinsipnya, Persidangan terbuka untuk umum sebagaimana telah diatur dalam pasal 153 ayat (3) KUHAP dan pasal 13 UU kekuasaan Kehakiman, Pengambilan Foto dan Rekaman audio merupakan bagian dari prinsip Keterbukaan Informasi Publik.
"Tidak relevan jika Harus didahului dengan minta izin Hakim atau Ketua Majelis, " ujarnya kepada Media Jaringan FPII via samsung seluler, Senin (28/12/2020).
Menurut pria yang biasa disapa Om Blcak ini bahwa kebijakan yang dikeluarkan M A tersebut akan menghambat fungsi dan peran wartawan (Pers) dalam mencari dan menyiarkan informasi kepada publik.
"Kehadiran Wartawan dalam persidangan merupakan bagian dari keterbukaan informasi publik yang telah diatur oleh Undang-Undang Republik Indonesia No.40 tahun 1999 tentang Pers Bab II.pasal 4 ayat (3)," ujar Om Black.
Lanjutnya, dalam Undang-Undang Pers telah memberi jaminan terhadap kemerdekaan Pers, dan memberi hak kepada Pers Nasional dalam Mencari, Memperoleh dan Menyebarluaskan gagasan serta informasi. Semestinya Mahkamah Agung tidak menghalangi atau membatasi kerja Wartawan melalui Perma No.5 tahun 2020.
Wakil Pemimpin Redaksi (Wapemred) Media Cetak dan Online Nasional ini juga menegaskan, sebagai sosial control, peran wartawan di dalam persidangan dinilai dapat meminimalisir praktik Mafia Peradilan yang dapat mengganggu independensi hakim dalam memutus suatu Perkara.
Keberadaan wartawan di dalam ruang persidang sangat penting. Hal tersebut guna menjamin proses peradilan berjalan sesuai peraturan atau sesuai SOP. Jika akses peliputan didalam ruang sidang dibatasi, disinyalir akan membuat para mafia peradilan semakin leluasa tanpa adanya pengawasan (sosial control) dari Wartawan.
"Wartawan (Pers) adalah perwakilan mata dan telinga untuk Masyarakat (publik). Kalo peran wartawan dibatasi bahkan ditutupi, Saya yakin, hal itu dapat membuat hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap proses Penegakan Hukum. Dan nantinya akan bermunculan Opini Publik terkait di keluarkannya Perma No.5 tahun 2020," jelasnya.
Kami (FPII) berharap kepada Mahkamah Agung agar mencabut kembali Perma No.5 tahun 2020. Karena kami menganggap bahwa Perma tersebut dapat menghambat Hak wartawan dalam Mencari, Mengelola serta Menyebarluaskan gagasan dan informasi.
Perlu Diketahui Bahwa: Undang-Undang Nomor 14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik menegaskan sebagaimana dalam Pasal 28 F Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyebutkan bahwa setiap Orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh Informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya.
Informasi merupakan kebutuhan pokok setiap orang bagi pengembangan pribadi dan lingkungan sosialnya serta merupakan bagian penting bagi ketahanan Nasional. Hak untuk memperoleh informasi merupakan Hak asasi manusia dan keterbukaan informasi publik merupakan salah satu ciri penting di Negara Demokratis yang menjunjung tinggi kedaulatan rakyat.
Dasar Hukum Undang-Undang Nomor 14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik, berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.(Ansori)
No comments:
Post a Comment